banyak sekali kisah cinta di dunia ini, ada yang mengharukan ada pula yang menyedihkan, ada yang berakhir bahagia ada pula yang merana, kita sering di buat bingung tentang cinta, terkadang kita mengatakan cinta itu buta, ada pula yang mengatakan cinta itu pahit, ada pula yang mengatakan cinta itu bohong, namun tidak sedikit yang mengatakan cinta itu indah,
perlu kita ketahui bahwa cinta itu memang ANUGRAH, maka dari itu baiknya kita mencontoh kisah2 cinta para ulama yang baik dan sesuai dengan syariat agama, dan inilah salah satu kisah cinta dari seorang IBNU HAZM .
beliau pernah jatuh cinta sebanyak tiga kali. Cintanya yang pertama ia tumpahkan kepada jariat (pembantunya) lalu menikahinya ketika Ibnu Hazm berusia di bawah 20 tahun.
Ketika isterinya yang lebih muda darinya itu meninggal dunia, ia larut dalam kesedihan dan menangis berbulan-bulan, walaupun seperti pengakuannya ia adalah orang yang sulit mencucurkan air mata.
Ia jatuh sakit sekian lama, bahkan kehilangan sebahagian ingatannya, walaupun kemudian sembuh.
Ibnu Hazm menulis bahawa, “Cinta awalnya permainan dan akhirnya kesungguhan. Dia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya, syariat pun tidak melarangnya.”
“Ketika masih remaja, aku jatuh cinta kepada seorang gadis berambut pirang. Sejak itu aku tidak mengagumi gadis berambut hitam, meski pemiliknya berada di matahari atau sangat molek. Itu kecenderunganku sejak saat itu. Diriku tidak pernah mengagumi lagi kecuali rambut pirang. Itu pula kecenderungan ayahku.”
Kalimat di atas merupakan pengakuan filosof dan ulama besar dunia, Ibnu Hazm. Lewat karyanya yang berjudul Tauqul Hamamah (Di Bawah Naungan Cinta). Ibnu Hazm berhasil menjadikan dirinya sasterawan yang cukup disegani. Bukunya ini menjadi buku terlaris sepanjang abad pertengahan. Buku itu tidak hanya menarik bagi umat Islam, tetapi juga bagi kaum Nasrani di Eropa.
Padahal Ibnu Hazm dikenal sebagai salah satu ulama tersohor di abad pertengahan. Ayahnya dikenal sebagai salah seorang menteri pada zaman Khalifah al-Manshur.
Menurut penuturan Ibnu Hazm, cinta pertamanya bersemi ketika ia berusia 18 tahun. Sementara gadis pujaannya yang berambut pirang berumur 16 tahun. Gadis itu dikaguminya sampai habis. Ia mengatakan bahwa pujaannya itu seorang yang cantik, bertabiat baik, dan bertubuh sintal. Si gadis pun pandai bernyanyi dan memetik kecapi, yang menjadi kebiasaan kala itu.
Ibnu Hazm tergila-gila. Setiap hari selalu menanti gadis itu lewat di depan pintu rumahnya. Begitu gadis itu muncul, Ibnu Hazm langsung menguntitnya. Seperti kisah remaja pada umumnya, kisah cinta Ibnu Hazm penuh dengan romantika. Jika dikejar, si gadis berlalu dengan malu-malu dan rona wajahnya memerah. Tentang perilakunya yang terbuai itu Ibnu Hazm menulis, “Saya ingat benar bagaimana ketika saya selalu pergi ke ruangan tempat ia tinggal. Rasanya saya selalu ingin menuju pintu itu agar bisa dekat dengannya. Begitu ia melihat saya di dekat pintu, dengan gerakan lemah gemulai ia pergi ke tempat lain. Saya pun menguntitnya sampai ke pintu ruangan tempat ia berada.”
Ibnu Hazm, sebagaimana semua ulama dan agamawan, menyatakan bahawa cinta yang terbesar adalah cinta kepada Allah dan cinta antara sesama manusia yang dijalin kerana Allah swt. Cinta antara sesama manusia, antara lain cinta antara lawan jenis, jika terjalin kerana Allah, pasti diliputi oleh kesetiaan dan kesucian.
Ibnu Hazm al-Andalusi, seorang pakar hukum Islam menulis pengalaman peribadinya antara lain: “Seandainya bukan kerana keyakinan bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan negeri kekeruhan, sedangkan syurga adalah tempat peroleh ganjaran, kita akan berkata bahawa hubungan harmonis antara kekasih merupakan kebahagiaan tanpa kekeruhan, kegembiraan tanpa kesedihan, kesempurnaan cinta dan puncak harapan.”
Selanjutnya, ulama besar itu berkata: “Aku telah merasakan kelazatan dengan aneka ragamnya. Aku juga telah meraih keberuntungan dengan segala macamnya. Tidaklah kedekatan kepada penguasa, tidak juga wujud setelah ketiadaan, atau kembali ke pangkuan setelah bepergian jauh, dan tidak juga rasa aman setelah mengalami rasa takut, atau perolehan harta yang dimanfaatkan, tidaklah semua itu, seindah hubungan harmonis/asmara dengan kekasih/lawan jenis kita.
Memandang Cinta
Menurut Ibnu Hazm, cinta itu sulit diuraikan. Tetapi pada orang yang jatuh cinta terdapat pertanda.
»» BACA SELANJUTNYA...
perlu kita ketahui bahwa cinta itu memang ANUGRAH, maka dari itu baiknya kita mencontoh kisah2 cinta para ulama yang baik dan sesuai dengan syariat agama, dan inilah salah satu kisah cinta dari seorang IBNU HAZM .
beliau pernah jatuh cinta sebanyak tiga kali. Cintanya yang pertama ia tumpahkan kepada jariat (pembantunya) lalu menikahinya ketika Ibnu Hazm berusia di bawah 20 tahun.
Ketika isterinya yang lebih muda darinya itu meninggal dunia, ia larut dalam kesedihan dan menangis berbulan-bulan, walaupun seperti pengakuannya ia adalah orang yang sulit mencucurkan air mata.
Ia jatuh sakit sekian lama, bahkan kehilangan sebahagian ingatannya, walaupun kemudian sembuh.
“Demi Allah, hingga kini aku tidak pernah lagi merasa bahagia. Kehidupan setelah kepergiannya tidak nyaman lagi. Aku terus mengenangnya dan tidak lagi menemukan kesenangan dari selainnya.”Sekali lagi, dengan demikian, Ibnu Hazm sendiri sibuk dalam cinta sepanjang hidupnya, sebagaimana ia disibukkan oleh ilmu-ilmu agama semacam fiqih (hukum Islam), tafsir, hadis dan teologi, bukan hanya perempuan sebagaimana tulisnya.
Ibnu Hazm menulis bahawa, “Cinta awalnya permainan dan akhirnya kesungguhan. Dia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya, syariat pun tidak melarangnya.”
“Ketika masih remaja, aku jatuh cinta kepada seorang gadis berambut pirang. Sejak itu aku tidak mengagumi gadis berambut hitam, meski pemiliknya berada di matahari atau sangat molek. Itu kecenderunganku sejak saat itu. Diriku tidak pernah mengagumi lagi kecuali rambut pirang. Itu pula kecenderungan ayahku.”
Kalimat di atas merupakan pengakuan filosof dan ulama besar dunia, Ibnu Hazm. Lewat karyanya yang berjudul Tauqul Hamamah (Di Bawah Naungan Cinta). Ibnu Hazm berhasil menjadikan dirinya sasterawan yang cukup disegani. Bukunya ini menjadi buku terlaris sepanjang abad pertengahan. Buku itu tidak hanya menarik bagi umat Islam, tetapi juga bagi kaum Nasrani di Eropa.
Padahal Ibnu Hazm dikenal sebagai salah satu ulama tersohor di abad pertengahan. Ayahnya dikenal sebagai salah seorang menteri pada zaman Khalifah al-Manshur.
Menurut penuturan Ibnu Hazm, cinta pertamanya bersemi ketika ia berusia 18 tahun. Sementara gadis pujaannya yang berambut pirang berumur 16 tahun. Gadis itu dikaguminya sampai habis. Ia mengatakan bahwa pujaannya itu seorang yang cantik, bertabiat baik, dan bertubuh sintal. Si gadis pun pandai bernyanyi dan memetik kecapi, yang menjadi kebiasaan kala itu.
Ibnu Hazm tergila-gila. Setiap hari selalu menanti gadis itu lewat di depan pintu rumahnya. Begitu gadis itu muncul, Ibnu Hazm langsung menguntitnya. Seperti kisah remaja pada umumnya, kisah cinta Ibnu Hazm penuh dengan romantika. Jika dikejar, si gadis berlalu dengan malu-malu dan rona wajahnya memerah. Tentang perilakunya yang terbuai itu Ibnu Hazm menulis, “Saya ingat benar bagaimana ketika saya selalu pergi ke ruangan tempat ia tinggal. Rasanya saya selalu ingin menuju pintu itu agar bisa dekat dengannya. Begitu ia melihat saya di dekat pintu, dengan gerakan lemah gemulai ia pergi ke tempat lain. Saya pun menguntitnya sampai ke pintu ruangan tempat ia berada.”
Ibnu Hazm, sebagaimana semua ulama dan agamawan, menyatakan bahawa cinta yang terbesar adalah cinta kepada Allah dan cinta antara sesama manusia yang dijalin kerana Allah swt. Cinta antara sesama manusia, antara lain cinta antara lawan jenis, jika terjalin kerana Allah, pasti diliputi oleh kesetiaan dan kesucian.
Ibnu Hazm al-Andalusi, seorang pakar hukum Islam menulis pengalaman peribadinya antara lain: “Seandainya bukan kerana keyakinan bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan negeri kekeruhan, sedangkan syurga adalah tempat peroleh ganjaran, kita akan berkata bahawa hubungan harmonis antara kekasih merupakan kebahagiaan tanpa kekeruhan, kegembiraan tanpa kesedihan, kesempurnaan cinta dan puncak harapan.”
Selanjutnya, ulama besar itu berkata: “Aku telah merasakan kelazatan dengan aneka ragamnya. Aku juga telah meraih keberuntungan dengan segala macamnya. Tidaklah kedekatan kepada penguasa, tidak juga wujud setelah ketiadaan, atau kembali ke pangkuan setelah bepergian jauh, dan tidak juga rasa aman setelah mengalami rasa takut, atau perolehan harta yang dimanfaatkan, tidaklah semua itu, seindah hubungan harmonis/asmara dengan kekasih/lawan jenis kita.
Memandang Cinta
Menurut Ibnu Hazm, cinta itu sulit diuraikan. Tetapi pada orang yang jatuh cinta terdapat pertanda.
- Kecanduan memandang orang yang dikasihi.
- Segera menuju ke tempat kekasih berada, sengaja duduk di dekatnya dan mendekatinya.
- Gelisah dan gugup ketika ada seseorang yang mirip dengan orang yang dicintainya.
- Kesediaan untuk melakukan hal-hal yang sebelumya enggan dilakukannya